Sabtu, 25 April 2015

What guess happen?

Dibawah naungan semburat awan kemerah-merahan. Duduklah seorang wanita di dipan taman dengan ke anggun an jilbab yang terurai, sehabis lebam matanya, masih terisak tangisnya.

Aku melepasnya. Melepas yang bukan mahramnya. Melepas semua. Semuanya!

Tangisnya menghilang, air matanya menguap kering.

Aku membuka lembaran baru. Baru tanpanya. 


Terimakasih, ya? J

aku kuat

Saat itu, kau datang padaku dengan isak tangis keras, mengadu dan mengeluh seakan berharap aku yang akan menghapus airmatamu dan menghilangkan isak tangismu. Seakan aku yang akan memelukmu dan menjagamu dari kesakitan hati. Seakan berharap akan ku pungutkan butiran butiran hatimu yang telah kau jatuhkan sendiri, kau pecahkan sendiri. Seakan ingin kau adukan pahit getirnya masalahmu dan hiburmu dengan guyonan yang akan membuatmu terpingkal. Seakan.
Tapi seakan itu. Aku lakukan. Ku punguti runtuhan hatimu, kusatukan, ku rekatkan, ku padukan dengan kasih murniku sebagai seorang perempuan. Tapi kau balas semua sembah perlakuan baikku dengan kepahitan. Kepahitan yang hingga kini masih kau sisakan, kau tancapkan.
Kau jatuh hati padaku, setidaknya itu yang kau katakana padaku. Aku mempercayainya dan aku membalasnya dengan murni. Aku membantu mu berdiri dari jatuh sakitmua oleh gadis itu. Kau jatuh hati padaku, pada ke lugu an ku yang merawatimu. Kau jatuh hati padaku, setidaknya itu yang kau utarakan untuk mengelabuhiku sebagai pelarianmu.

Dan kini, dan hari ini, dan saat ini. Aku membuat sebuah kesalahan, kesalahan kecil yang harusnya termaafkan oleh kata maaf saja. Namun kau jadikan hal itu untuk meninggalkanku. Aku tau dari kata katamu kau manfaatkan kesalahanku untuk menyudahi komitmen tak jelas ini. Aku tau kau bosan denganku. Aku tau kau hanya mencari yang sempurna. Tapi tidakkah kau sadar?! Tak ada yang sempurna di dunia ini.
Seharusnya aku sadar sejak awal, aku hanya perempuan lugu yang dipermainkan, dijadikan budak pelarian perasaan. Bodoh! Begitu bodoh diriku ini. Bahkan ketika kita jalan berdua bermesraan di siang hari. Kau jalan berdua dengan gadis lain dimalam hari. Dan kini? Dan kini kau tinggalkan ku untuk gadis yang telah menghancurkan hatimu, untuk gadis sebelum aku, untuk gadis yang mungkin memang lebih baik dari aku.
Kau permainkan aku dalam gelap jalan, kau menyuruhku seakan akan memang aku tunduk kepadamu, seakan aku ini pembantu bayaran mu. Yang kau bayar dengan omong kosong cintamu!
Ku teguhkan hati sekuat mungkin saat kau gantungkan aku selama seminggu, tanpa kabar pasti. Ku kuatkan tekadku untuk tetap berdiri. Ku pasang topeng manis untuk menutupi semua sedihku. Ku pasang raut bahagia, seakan bahagia. Seakan saja.
Kau tidak pernah tau rasanya menjadi seorang pelarian semata. Menjadi seorang yang gelap mata tentang suatu hubungan.
Kau tidak pernah tau jika kata kata itu menancap tajam dan keras di perasaan tulusku kepadamu, kau tidak pernah tau, dan selamanya tidak akan pernah tau bagaimana sakitnya kau permainkan. Kau hanya ingin dapat yang sempurna saja. Tak kan pernah kau dapat si sempurna itu.
Aku menyesal. Aku menyesal pernah menerimamu. Aku menyesal, sungguh menyesal pernah mengijinkanmu merusak kebahagiaanku. Namun setidaknya kaulah yang mengajarkan untuk tetap tersenyum sesakit apapun itu. Namun setidaknya aku tau bahwa aku kuat. Aku tak lemah sepertimu yang meminta bantuan untuk berdiri lagi. Setidaknya aku kuat menghadapi sakit ini. Aku kuat untuk bangkit lagi. Kuat untuk memasang raut muka bahagia walau sebenarnya seakan bahagia.

Terimakasih telah percaya padaku untuk membangkitkan keterpurukanmu dulu, meski kini kau sudah bangkit dan memulainya lagi bersama gadis itu J

Terlalu besar anganku.

Mungkin aku terlalu mengharapkanmu terlalu besar. Menceritakan setiap angan pada semua teman, membayangkan setiap momen yang ingin di abadikan, menjalani suka duka layaknya sang pangeran dan putri di negeri dongeng.

Mungkin aku terlalu berharap. Berharap semua angan dapat tercapai. Berharap semua berjalan dengan rencana sempurna. Tetapi, harapan besarku berakhir menjadi sebuah harapan kosong. Yang bahkan di nalar saja tidak bisa jika sudah mengetahui bahwa ini realitanya.

Aku menunggumu disini, berjam-jam tanpa banyak bertanya, aku datang disini ditempat pertama kali kita bertemu ini. Aku datang 30 menit lebih cepat dari biasanya. berharap kita sebahagia pasangan kekasih lainnya. Menunggu kedatangan sosok yang akan menarik tanganku untuk merasakan hiruk pikuknya perasaan senang.

Aku menunggu dengan memandangi semua raut bahagia disini, memandangi orang-orang yang lewat di depanku dengan semua pikiran positif ku jika nantinya kau akan datang dengan sebuah kejutan seperti biasanya, setidaknya seperti sebulan yang lalu sebelum kau terbaring lemah di rumah penuh dokter bedah itu. Aku menunggumu, aku menunggu menghabiskan sepanjang hariku.

Hingga langit menjadi kelam. Aku hanya bisa terdiam. Diam sendiri tanpa sosok yang datang. Aku duduk, aku menangis, aku sudah lupa. Lupa jika kamu juga mungkin sudah lupa denganku. Tapi kenapa aku tetap menunggumu. Namun aku tak menyesal.

Aku berjalan menuju tempatmu, tempat beristirahatmu. Tempat dimana banyak orang memakai pakaian berwarna hitam. Setidaknya aku bisa ikut merasakan damaimu disana. Aku mengingatmu dengan penuh harapanku, banyak harapanku.