Kamis, 30 Januari 2014

Aku dan suasana itu.


Ratusan  bangku  yang disediakan masih Nampak kosong. Kehampaan disini begitu terasa. Aku hanya bisa memandangnya, ratusan bangku kosong, seonggok lapangan basket yang belum hangat oleh injakan pemain, beberapa meja juri dan dua buah ring basket yang terlihat berdiri kokoh menunggu sebuah bola memasuki lubang ringnya.
Pukul 13.30 Open gate acara Basket Yogyakarta ini, Nampak satu persatu supporter berdatangan mengisi kekosongan bangku yang disediakan. Hampir seperti dulu kau mengisi hari-hariku dengan hangat hadirmu disisi. Dress code yang Nampak sangat berbeda di setiap sekolah. Hampir seperti perbedaan kita yang tercipta. Aku hanya duduk dibawah dekat ring dan memandangi puluhan bahkan ratusan jejak kaki yang ditinggalkan didepan pintu masuk dan ratusan sudut tiket juga tersobek sebagai tanda dimana kita diperbolehkan masuk. Tiket, syarat untuk bisa masuk ke dalam arena ini. Tak seperti aku dan hatiku.. tak perlu tiket untuk bisa mengetuk pintu ini, hanya butuh rasa percaya dari dalam diriku sendiri yang dulu pernah di khianati.
Aku yang di tempat itu sebagai pencatat apa yang terjadi atau anggap saja journalis, yah, journalis competition. Aku pengamat. Aku mengamati apa yang terjadi dalam pertandingan. Tidak. Aku justru mengamati supporter  atau penonton yang datang dengan pasangan mereka, duduk di tribun atas dan bergandengan tangan yang terlihat hangat. Aku jadi ingat, kala itu. Tidak, aku tidak ingin menceritakannya, meski itu hal yang selalu aku ingat. Aku duduk di tribun paling atas. Sendirian. Aku mengamati berbagai postur tubuh para pria yang duduk didepanku. Aku ingat postur itu, bahu itu. Tidak, itu bukan kamu, dan juga wanita yang disampingnya bukan aku. Aku hanya berusaha untuk tidak menoleh, memandang dan terpikir akan yang lalu. Aku berusaha focus pada pertandingan, bola yang dipantulkan dan dilempar kesana kemari oleh pemain. Namun aku berusaha melupakan bahwa bola itu aku, aku yang dipermainkan dan aku yang hanya dilempar-lempar layaknya bola itu.
hanya perumpaan kita yang dulu.
Semakin bosan aku teringat masa dikala itu, aku coba membuka keypad di ponsel ku dan mengecek apakah ada pesan yang masuk. Ada. Teman seperjuanganku, Journalis competition. Hanya saja dia berada di samping area pertandingan. Area yang pas untuk move-on. Ya, tempat itu sangat nyaman untuk memandang cool-nya para pemain basket tanpa pasangannya. Kembali pada pesan yang temanku sampaikan, ia mengajak untuk segera turun dan menunaikan ibadah sholat ashar. Aku segera mencari jalan turun. Dan kembali ke area parkiran kendaraan. Namun tak kembali pada masa yang telah lalu.
Aku bertemu temanku dan kami banyak mengobrol tentang apa yang kami alami tadi selagi pertandingan, dia bercerita tentang para pemain putra yang berhasil di tangkap mata lensa kameranya. Sedang aku hanya terdiam mendengarkan ceritanya tanpa ingin menceritakan apa yang aku pikirkan tadi.
Begitu seterusnya. Aku hampir saja lelah. Apalaagi jika sponsor utama acara itu sedang memutarkan iklannya di layar, ditengah-tengah Gedung Olahraga itu. “…terus melaju, lupakan masa lalu…” aku malah semakin mengingat apa yang seharusnya tak aku ingat. Semakin merindu masa yang tak mungkin ku bertemu. Semakin memikirkan dan menghabiskan banyak waktuku yang berharga.

Selasa, 07 Januari 2014

AKU UNTUKMU #1


Aku pusing.
Aku benci pada hal ini, kamu tak mengangkat telfonku sejak tadi malam. Mungkin sudah 37 panggilan tak terjawab di handphone-mu dariku. Entah berapa panggilan tak terjawab dari selingkuhanmu. Mungkin selingkuhanmu tidak menelfon tetapi sudah berkencan denganmu. Lelah. Aku butuh bahu. Aku peluk bantal berbentuk emoticon, pemberian teman sekelasku saat aku berulangtahun, tahun lalu. Aku tumpahkan semua air mata ini. tak sanggup aku berpura-pura tegar. Aku tak bisa berbohong hanya untuk membuat diriku lebih menarik. Senyum, Saat ini lekukan manis itu tak hadir dalam hariku. Pikiranku penuh. Penuh dugaan “apa-apa” denganmu. Kamu menghilang.

Aku bosan. Aku bosan menunggu kabar darimu. Hari ini, sehari setelah sore itu aku menangis habis-habisan. Aku berusaha tak peduli lagi denganmu. Ya aku berusaha berpura-pura lagi. Aku pulang dari kampus, mengendarai motor berbentuk vespa, scoopy. Dalam perjalananku yang kupikirkan hanyalah dirimu. Tidakkah kau mengerti? Aku menghawatirkanmu!
Sekelebat terlintas dalam benakku menuju taman kota. Aku muak. Disini penuh dengan pasangan. Lalu ku lihat jam ditangan, 14 februari. Yaa pantas saja. Aku hanya duduk dibangku taman dengan sebatang coklat manis ditangan. Seperti angin, datang menghembuskan lalu pergi perlahan. Kini aku benar benar tak tahan. Aku menelfonmu lagi. Kamu angkat. Bukan kamu. Tak sampai 10 menit pembicaraan ini terputus. Aku menangis.

Kenangan. Terkubur dalam namun suatu ketika dapat bangkit semau mereka. Menghancurkan mood, mengulur benang pikiran dengan panjang lalu melepaskan tanpa tanggungjawab. Meninggalkan bekas aliran air mata di pipi. Mencintai lalu tiba-tiba pergi.

Untuk kamu,
Aku merindukan sosokmu,
Tetap diam dan mengerti saat aku marah.
Menggenggam jemariku saat aku tidak dalam mood yang bagus.
Memeluk dan merayuku saat aku cemburu.
Tidak pernah lelah menanyakan kabar dariku.
Tidak bosan untuk menghiburku.

Itu kamu tetapi kamu yang dulu.

Kamu yang sekarang,
Hanya diam dengan apapun yang aku lakukan.
Hanya diam meskipun air mataku mengalir deras.
Hanya diam walau ku panggil panggil namamu.
Tapi aku tetap menjaga perasaan ini, seperti dulu.

Selamat jalan kamu. Maafkan aku yang selalu menghawatirkan kamu.
Penuh cinta,
Aku.

AKU UNTUKMU #2


Kau tahu? Aku tak pernah lelah menjaga perasaan ini. pipiku sudah siap ketika akan kau tampar aku dengan duga penuh khawatirmu. Tetapi tidak sayang, aku tak bersama wanita lain. Selain dirimu. Aku menyukai tamparan cemburumu. Bagiku hal itu, hal yang akan sangat aku rindukan ketika aku sedang tak bersamamu.

Sore ini. demamku kambuh aku tak dapat meraih handphoneku. Aku tau. Kamu menelfonku. Dan mungkin menghawatirkanku. Tetapi aku tak dapat membalas khawatirmu dengan rayuanku saat ini. bibi membawaku ke rumah sakit. Maaf aku tak memberi tahumu. Demamku tinggi. Aku tak dapat melihat apapun disekelilingku, semua terasa tak fokus dan abu abu. Aku berteriak, tapi aku tak bisa keluarkan suaraku. Aku mencoba membuka mataku, tapi mataku sudah terbuka. Aku tertidur karena bius itu. Lalu aku bangun, semua terlihat kuning namun dapat kudengar jelas suara Bibi, memanggil namaku dengan keras dan mengoyang goyankan badanku seakan aku tak berdaya. Aku mengantuk, meskipun aku baru saja terbangun. Kuputuskan untuk memejamkan mataku yang semakin terasa berat. Dalam senyap tidurku, ku impikan dirimu, meraih tanganku mengajakku duduk ditaman kota merayakan 14 februari ini. tergambar jelas wajah ceriamu yang telah 3 tahun ini mengisi hari-hariku. Terimakasih atas semua yang kau lakukan padaku aku menyayangimu lebih dari yang kau bayangkan. Maafkan aku ketika aku tak bisa terbangun lagi, ketika degup jantungku berhenti, ketika sang waktu telah menjemputku kembali.

Aku takut tak ada yang diam dan mengerti ketika kamu marah,
Tak ada yang menggengam jemarimu saat kamu tak dalam mood yang bagus,
Tak ada yang memeluk dan merayumu saat kamu cemburu,
Tak ada yang tak lelah menanyakan kabar darimu,
Tak ada yang tak bosan menghiburmu.
Bahkan disini, aku masih menghawatirkanmu.

Untuk Aku,
Aku menyayangimu, aku tak meninggalkanmu. Selalu disampingmu.
Peluk dan sayang,
Kamu

Kenangan. Bagai ombak karang yang menyapu daratan pasir putih dan meninggalkan bekas deburan ombak dengan hangat.

Minggu, 05 Januari 2014

DE JAVU MENURUT PANDANGAN ISLAM


Ketika kamu diperkenalkan dengan seseorang, pernahkah terbesit
dalam hati, “Rasanya saya pernah bertemu orang ini. Di mana, ya?” Padahal, kamu belum pernah bertemu sebelumnya. Itu disebut gejala deja vu. Déjà vu adalah suatu perasaan aneh ketika seseorang merasa pernah berada di suatu tempat sebelumnya, padahal belum. Atau, merasa pernah mengalami suatu peristiwa yang sama persis, padahal tidak. Konon, orang tang sering mengalami hal itu memiliki bakat spiritual tinggi.
Para skeptis menganggap itu hanya sensasi. Namun banyak juga ahli yang percaya bahwa hal itu memang nyata. Bagaimana bagi orang islam ? Surat Al Hadid ayat 22 di atas memberi sekilas isyarat. Bahwa segala sesuatu yang belum terjadi, sudah tertulis dalam kitab. Tengoklah juga surat Ash-Shaaffaat (37) ayat 96, “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat."
Semua peristiwa di bumi dan semua perbuatan kita memang sudah ada sejak awal. Lalu, akan terjadi satu per satu secara berurutan. Dan pada waktunya, akan terekam dalam saraf penyimpan di otak, mungkin suatu ketika terjadi short-circuit, korslet di otak seseorang. Lintasan listrik di otak melompat nyerempet sinyal ke wilayah yang belum terjadi. Maka orang merasa sudah pernah mengalami atau melihat sesuatu. Padahal yang terjadi adalah dia “pernah” melihat, tetapi di masa depan. Selama ini “pernah” hanya dikaitkan dengan masa lalu. Gejala déjà vu memperluas makna “pernah” hanya dikaitkan dengan masa lalu. Gejala déjà vu memperlus makna “pernah” ke masa lalu dan juga masa depan.
Aneh? Tidak juga. Kita lihat dalam Surat Al Fath ayat 27, Allah membuka peristiwa ketika nantinya Rasulullah Saw. Memasuki Mekah dengan aman. Padahal, itu belum terjadi. Lalu Surat Ar-Ruum (30) ayat 2-4 yang berisi tentang kemenangan Romawi atas Persia, padahal itu baru terjadi beberapa tahun kemudian, itu contoh penyingkapan terhadap peristiwa yang belum terjadi bagi siapapun yang membaca Al Quran. Ternyata, selain kepada para nabi, kadang-kadang Allah memberi “bocoran” masa depan kepada manusia biasa juga. Masa depan memang sudah ada saat ini. Hanya saja, kebanyakan manusia tidak bisa melihatnya. Kecuali mungkin sekilas déjà vu yang dialami segelintir orang tadi.
(sumber: habiball. blogspot. com)