Rabu, 31 Oktober 2012

Terdampar Di Kerasnya Hidup


Terdampar Di Kerasnya Hidup
         Bintang, seorang anak perempuan cantik yang terlahir dari hubungan yang dilarang oleh agama. Ia sempat merasakan hangat peluk sang ibu tanpa ayah meski hanya 9 tahun sejak menghirup kotornya udara dunia.
          Satu satunya orang yang ia miliki, ibu meninggal dunia pada kecelakaan maut.
“Sekarang aku sendiri, tanpa ayah tanpa ibu dan aku tidak punya tempat tinggal,” cerita Bintang kepada sahabat baiknya, Biru
“Lalu aku ini kamu anggap apa? Apa kamu tidak kenal denganku? Sungguh? Kau begitu jahat,” sahut Biru
“Bukan begitu, tapi hm....”
“Iya aku tahu maksudmu, kamu ingin mempunyai tempat tinggal dan orang tua yang mengawasimu, bukan?”
“Hmm..i..i..iya,” jawab Bintang dengan gugup
“Kalau begitu, kau bisa tinggal di rumahku bersama aku dan orang tuaku,” ajak Biru dengan perasaan senang
“Apa aku tidak merepotkanmu?” tanya Bintang serius
“Mulai detik ini juga aku adalah saudaramu, kita bersaudara. Jadi masih ingin bertanya? Apa aku kurang meyakinkan?” jawab Biru serius
“Aku kan tidak mau merepotkan.”
“Kita berteman sudah sejak kecil, kita sahabat! Penderitaanmu juga penderitaanku!” ujar Biru dengan semangat
“Kata katamu sungguh berlebihan ha...ha...ha..” gurau Bintang
          Setelah sampai di rumah, tanpa mengetuk pintu Biru masuk ke dalam rumah sambil menggandeng Bintang.
“Ibu, ayah, Biru punya saudara baru!” teriak Biru
“Ada apa sih kok teriak teriak, wah nak Bintang ada di sini ,” sapa ibu
“Anu..bu, Bintang boleh tinggal di sini? Dia kan sudah tidak punya tempat tinggal,” tanya Biru dengan gugup
“Tentu saja boleh. Dia juga sekarang jadi anak ayah dan ibu loh ha...ha..ha,” jawab ayah dengan tawa kecil
“Ayah serius?” tanya Biru meyakinkan
“Apa ayahmu ini kurang meyakinkan? Ha..ha..ha” jawab ayah
“Bintang, kamu boleh memanggil kita ibu dan ayah, sekarang kita menjadi keluarga,” ujar ibu dan ayah
“Benarkah i..i..ibu?” jawab Bintang yang tampak gugup memanggil ibu
“Horeee...horeee,” teriak Biru girang.
Bintang sangat senang bisa tinggal bersama keluarga Biru yang kini menjadi keluarganya juga meski mereka hidup berkecukupan.
          Suatu senja ibu menawarkan Bintang untuk bersekolah lagi.
“Bintang mau sekolah?” tanya ibu
“Mau bu, tapi Bintang bingung bagaimana membayar uang sekolahnya?” jawab Bintang canggung
“Sudah, kamu tidak usah pikirkan soal biaya, yang penting kamu bisa sekolah lagi, kamu mau satu sekolah dengan Biru kan?” jawab ibu dengan tenang
“Tapi apa tidak merepotkan? I..iya aku mau bu,” jawab Bintang ragu
“Tentu tidak, bukankah tadi sudah dikatakan, kita ini keluarga.” Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarnya untuk beristirahat karena sudah malam.
Bintang yang masih duduk dikursi ruang tamu kemudian terlamun, tiba tiba terdengar suara Biru memanggilnya.
“Bintaaang, saudara baruku ayo cepat tidur! Ini sudah malam!”
“I..iya aku segera tidur” jawab Bintang yang bergegas masuk ke kamar tidur.
Namun diam diam ibu dan ayah mempunyai banyak hutang pada rentenir, hingga suatu pagi ketika Biru dan Bintang memulai pelajaran pertama di sekolah, kabar duka datang mengubah perasaan Biru begitu cepat. Rumah keluarga Biru dibakar oleh pemuda pemuda kekar yang menagih hutang karena ayah dan ibu tidak mampu membayar hutang mereka pun dibunuh. Memang, hidup itu kejam.
          Suasana duka menyelimuti hati Biru dan Bintang, hingga langit terasa gelapnya.
“Bintaaaaang...a...a..ku....” sedu Biru dengan terbata-bata dan tidak dapat melanjutkan kalimatnya.
“Sudah sudah, tanpa kau bilang aku mengerti apa maksudmu, aku mengerti perasaanmu,” ujar Bintang dengan rasa empatinya, karena dia juga pernah merasakan kehilangan orang yang sangat ia sayangi.
“Aku sama sepertimu, aku juga pernah merasa kehilangan, dan aku juga sebatang kara sebelum kalian menjadikanku bagian dari kalian,” tambah Bintang bercerita. Tanpa ia sadari buliran air mata mengalir dengan derasnya, tangan kecilnya sibuk menghapus ingus dan air mata yang mengalir, hatinya terasa kacau, dan otaknya sibuk memutar memori masa lalu.
“Aku tidak jahat, aku tidak mencuri, dan aku juga tidak mencelakai orang lain, tapi kenapa aku mendapat hal buruk seperti ini, Tuhan memang tidak adil!” kelur Biru.
‘Biru, ini cobaan Tuhan untuk kita, untuk menguji kemampuan kita. Setelah gelap pasti ada cahaya, yakinlah.” ucap Bintang meyakinkan.
“Aku benci pada kehidupan yang tak adil, kehidupan ini seperti tak menyukai hadirku. Aku tak kuat menahan segala derita. Tuhan, inikah cobaan? Atau jalan kehidupanku?” keluh Biru
Mereka berduapun saling berpelukan dan menangis. Meskipun itu keluarga biru tapi Bintang juga merasa kehilangan ditinggal keluarga barunya. Baru satu hari ia merasakan hangat keluarga yang utuh, tapi waktu begitu cepat mengganti warna kehidupan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Dingin malam mulai terasa, hangat sang rembulan tertutup oleh gelapnya malam dan hitamnya awan.
“Bintang, kita mau tidur dimana? Kita sudah tidak punya tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan dingin malam,” tanya Biru
“Kita tidur di emperan toko saja, kita bisa pakai kardus untuk alas,” jawab Bintang pasrah
“Oke, aku cari kardus dulu ya.” ujar Biru sambil mencari
          Keesokan harinya mereka terbangun karena diusir oleh pemilik toko
“Sekarang, kita mau gimana, Tang? Uang tidak punya, aku lapar,” tanya Biru sambil memandang motor dan mobil yang berlalu lalang didepan mereka.
“Kita tidak bisa diam saja dan mengemis iba, kita harus kerja!” kata Bintang bersemangat
“Kita anak umur 9 tahun, mau kerja apa?”
“Mungkin, kita bisa bantu bantu nyuci piring di warung, kan lumayan bisa buat makan.”
“Oke oke, kita harus cari warung untuk berkerja ha...ha...ha.”
Beberapa jam kemudian mereka menemukan warung makan dan mulai bekerja di sana. Beruntung, ibu yang memiliki warung tersebut mau menganggkat mereka menjadi anak angkatnya karena iba dan melihat semangat untuk hidup mereka. Mereka dirawat hingga berumur 20 tahun, namun saat satu langkah kehidupan membaik mereka kehilangan ibu angkat mereka karena penyakit jantung yang dideritanya. Tak henti hentinya bayang hitam mengikuti jejak kehidupan Bintang. Satu satunya sahabatnya, Biru menginap di rumah sakit karena penyakit kanker yang menggerogoti otaknya dan leukimia.
“Biruuu.. kamu gak akan tinggalin aku kan?” tanya Bintang sambil menangis
“Entahlah, aku tak yakin bisa bertahan dengan kondisiku yang seperti ini,” jawab Biru dengan pasrah
“Bintang, saat malam indahnya langit biru kan terganti, namun indahnya kerlipan bintang tak akan padam,” tambah Biru menyemangati Bintang
“Tapi Biru, aku akan tinggal bersama siapa?”
“Kan masih ada kak Rosi yang sebentar lagi akan meminangmu ha...ha...ha.”
“Ah kamu ini, aku serius.”
“Apa aku kurang meyakinkanmu?”
“Biruu.. aku mohon jangan tinggalin aku! Jangan Biru!”
“Aku juga masih ingin melihatmu bersama kak Rosi he..he..he, tapi mungkin takdir berkata lain.”
Bintang pun semakin deras menitikan air matanya,
“Gak perlu ada yang harus kamu tangisi untuk sebuah kenyataan yang sudah menjadi keputusan-Nya,” tambah Biru
Tak sampai satu menit percakapan mereka terhenti karena tak terhembus lagi nafas Biru, Bintang menangis tak henti kehilangan lagi orang yang ia sayangi.
Tetesan air mata mengiringi setiap cerita kelam Bintang. Hidup Bintang memanglah keras tapi ia berusaha tetap tegar dan sabar menjalaninya, hal itulah yang membuat Kak Rosi semakin tertarik padanya dan akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia di rumah yang mewah. Meskipun Bintang takut untuk kehilangan orang yang ia sayangi dan kehidupan kelam yang membayanginya, tetapi ia harus yakin bahwa yang rencana Tuhan akan indah pada waktunya.
“Ibu, Biru, aku kan tetap selipkan namamu dalam setiap do’a ku, ku kan tetap mengingatmu, sampai bertemu.”